Hindari Ghibah!

Budaya ghibah di Indonesia sendiri sudah sangat membahana, saya terkaget-kaget ketika pulang dari kuliah malam. Saat saya melintasi beberapa ibu yang sedang berjalan pelan di depan saya, kemudian tiba-tiba salah satu yang terdepan dari mereka berhenti di belakang saya dan menghentikan langkah ibu-ibu yang lain. Lalu berbisik keras, "Eh ... tau gak sih sebenernya si anu, begini bla... bla... bla..."

Saya mengeleng-geleng mengucap istighfar sambil cepat-cepat berjalan.

Lain waktu saya mendengar seseorang berbicara kepada seorang yang lain, 
"Tadi di angkot, ada yang bau badan, bau ketek gitu, ampun bau banget! Yang sebelahnya aja sampe nutup hidung!".

Sekiranya kalau paham pahala menahan diri dari ghibah itu seperti apa, pasti akan diam, apalagi dapat maklum terhadap aib orang lain, dalam hal ini tabayyun adalah yang paling baik, menyampaikan secara langsung dan rahasia.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah sebagian kalian menggunjingkan (ghibah) sebagian yang lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujuuraat: 12)


 "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berbicara yang baik atau diam." (HR. Muslim)

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Budaya ghibah sendiri disuburkan di dalam Media Social, dengan kata kerennya "KEPO", entah KEpingin InPOrmasi, atau definisi lainnya, diri kita sudah terjebak dalam budaya ghibah itu sendiri. Banyak ingin tahu, dalam artian ingin banyak mengetahui tentang sepak terjang seseorang di kehidupan prang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)ibadinya, lambat laun jika tak disaring dengan baik maka akan menjadi hal yang buruk.

Televisi, khususnya tayangan tidak mendidik dalam sinetron sendiri sudah menyuguhkan budaya ngobrol-ngobrol habis masak sambil nunggu anak dan suami pulang, atau yang lebih pagi, gosip saat beli sayur. Ckckck.... Gosip pun berlanjut di dalam rumah dengan beberapa pihak keluarga. Anehnya, yang saya terheran-heran, anak-anak pun sudah menjadi korban budaya ghibah yang dicontohkan ibunya, contohnya adik saya sendiri sempat ghibah di depan saya, membicarakan aib dalam gosip yang disebar dilingkungan, saya kaget, namun saat itu juga saya nasihati, saya filter apa yang membuat ia bisa berperilaku sedemikian rupa. Masya Allah...


Pengen tahu segala hal, hal yang baik jika dikaitkan dengan ilmu yang bermanfaat. Ilmu sendiri punya pengaruh terhadap cara berfikir dan cara pandang manusia. Tidak semua hal yang bersifat ngomongin orang disebut ghibah. 

Ghibah sendiri diartikan membicarakan sesuatu tentang saudaranya, yang apabila saudaranya tahu, ia tak menyukainya. Seperti yang disampaikan hadits berikut:

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

اتدرون ما الغيبه؟ قالوا: الله ورسوله أعلم .قال:الْغِيبَة ذِكْرك أَخَاك بِمَا يَكْرَه قِيلَ : أَفَرَأَيْت إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُول ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيهِ
مَا تَقُول فَقَدْ اِغْتَبْته ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَقَدْ بَهَتّه

“Tahukah kalian apa itu ghibah?”

Mereka (para sahabat) menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”

Kemudian beliau shallahu’alaihi wasallam bersabda, “Engkau menyebut-nyebut saudaramu tentang sesuatu yang ia benci.”

Jelas ghibah yang berkembang dalam lingkungan di Indonesia bukan lagi sekedar membicarakan tentang saudaranya, namun sudah menjurus ke arah analisa dan ramalan tentang saudaranya yang dibicarakan, "Si anu tuh, kalo kelakuannya kayak gitu! Sifatnya begini dan begitu! Liat aja, ntar begitu ... begini ...!" sambil mendelik tidak jelas.
Hal yang kadang membingungkan, jelas mereka bukan malaikat yang mengetahui rahasia, apalagi tuhan yang menetapkan takdir manusia. Astagfirullah...

Padahal analisa dan ramalan yang dibuat sering sekali meleset. 
Kemudian ada yang bertanya, “Bagaimana menurutmu jika sesuatu yang aku sebutkan tersebut nyata-nyata apa pada saudaraku?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Jika memang apa yang engkau ceritakan tersebut ada pada dirinya itulah yang namanya ghibah, namun jika tidak berarti engkau telah berdusta atas namanya.” (HR Muslim 2589 Bab: Al-Bir Wash Shilah Wal Adab)
Na'udzubillahi min dzalik. 

Tidak selalu membicarakan orang lain disebut ghibah, coba simak hal berikut:

Nawawi rahimahullah setelah menjelaskan makna ghibah beliau berkata, “Akan tetapi ghibah itu diperbolehkan oleh syar’iat pada enam perkara:
  1. Kedzoliman, diperbolehkan bagi orang yang terdzolimi menngadukan kedzoliman kepada penguasa atau hakim yang berkuasa yang memiliki kekuatan untuk mengadili perbuatan tersebut. Sehingga diperbolehkan mengatakan,”Si Fulan telah mendzalimi diriku”atau “Dia telah berbuat demikian kepadaku.”
  2. Meminta bantun untuk menghilangkan kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat kepada kebenaran. Maka seseorang diperbolehkan mengatakan, “Fulan telah berbuat demikian maka cegahlah dia!”
  3. Meminta fatwa kepada mufti (pemberi fatwa,pen) dengan mengatakan:”Si Fulan telah mendzolimi diriku atau bapakku telah mendzalimi diriku atau saudaraku atau suamiku, apa yang pantas ia peroleh? Dan apa yang harus saya perbuat agar terbebas darinya dan mampu mencegah perbuatan buruknya kepadaku?” Atau ungkapan semisalnya. Hal ini diperbolehkan karena ada kebutuhan. Dan yang lebih baik hendaknya pertanyaan tersebut diungkapkan dengan ungkapan global, contohnya:
    “Seseorang telah berbuat demikian kepadaku” atau “Seorang suami telah berbuat dzalim kepaada istrinya” atau “Seorang anak telah berbuat demikian” dan sebagainya.
    Meskipun demkian menyebut nama person tertentu diperbolehkan, sebagaimana hadits Hindun ketika beliau mengadukan (suaminya)kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang sangat pelit.”
  4. Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan, contohnya memperingatkan kaum muslimin dari perowi-perowi cacat supaya tidak diambil hadits ataupun persaksian darinya, memperingatkan dari para penulis buku (yang penuh syubhat). Menyebutkan kejelekan mereka diperbolehkan secara ijma’ bahkan terkadang hukumnya menjadi wajib demi menjaga kemurnian syari’at.
  5. Ghibah terhadap orang yang melakukan kefasikan atau bid’ah secara terang-terangnan seperti menggunjing orang yang suka minum minuman keras, melakukan perdagangan manusia, menarik pajak dan perbuatan maksiat lainnya. Diperbolehkan menyebutkannya dalam rangka menghindarkan masyarakat dari kejelekannya.
  6. Menyebut identitas seseorang yaitu ketika seseorang telah kondang dengan gelar tersebut. Seperti si buta, si pincang, si buta lagi pendek, si buta sebelah, si buntung maka diperbolehkan menyebutkan nama-nama tersebut sebagai identitas diri seseorang. Hukumnya haram jika digunakan untuk mencela dan menyebut kekurangan orang lain. Namun lebih baik jika tetap menggunakan kata yang baik sebagai panggilan, Allahu A’lam. (Syarhun Nawawi ‘ala Muslim, Hal.400).

Perlu kita pahami bahwa ghibah perlu dihindari, minimal menjauh atau diam ketika tidak dapat menghindari ghibah.

Sekian, moga bermanfaat.Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)


"Hai orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian dari kamu mengunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saydaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."
(QS. Al-Hujurat, 12)
 
sumber data: MuslimahOrId & Konsultasi Syariah

 kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)